Rabu, 13 Mei 2009

Pahala Terakhir Seorang Isteri

“Peristiwa yang menimpa diri saya kira-kira dua tahun yang lalu sering datang menggangu ketenangan saya. Saya selalu teringat dan masih belum dapat memaafkan kesalahan yang telah saya lakukan. Kesalahan yang disangka ringan, tetapi rupa-rupanya mendatangkan rasa bersalah yang tidak pernah berkesudahan hingga ke hari ini. Ingin saya paparkan peristiwa yang menimpa diri ini untuk pembaca sekalian, untuk dijadikan teladan sepanjang hidup.

Untuk diketahui, di kalangan sahabat-sahabat dan saudara, saya dianggap sebagai seorang isteri yang baik. Tetapi keterlaluan jika dikatakan saya menjadi contoh teladan seorang isteri bekerja yang begitu taat berbakti kepada suami.

Sebenarnya, walau lelah dan sibuk sekalipun, urusan rumahtangga seperti melayani suami dan menguruskan anak-anak tidak pernah saya abaikan. Kami juga di anggap pasangan romantis. Suami saya seorang lelaki yang sangat memahami jiwa saya, berlemah lembut terhadap keluarga, ringan tangan untuk bersama-sama mengurus rumah apabila pulang dari kerja dan banyak sifat lain-lain yang baik ada pada dirinya.

Waktu sholat dan waktu makan merupakan waktu terbaik. Sholat berjamaah dan makan bersama mengeratkan ikatan kekeluargaan. Pada waktu inilah biasanya beliau akan memberi siraman rohani dan nasihat kepada kami agar menjadi hamba Allah yang bertakwa. Dari segi layanan seorang isteri terhadap suami, saya amat memahami akan kewajiban yang harus ditunaikan. Itulah peranan asas seorang isteri terhadap suaminya. Oleh itu saya menganggap tugas mengurus rumahtangga, mengurus anak-anak dan bekerja di kantor adalah tugas nomor dua setelah tugas pertama dan utama, yaitu melayani suami.

Sebagai seorang yang juga sibuk di kantor, adakalanya rasa lelah dan letih membuat saya terlambat pulang ke rumah. Tetapi saya bersyukur kerana suami amat memahaminya. Berkat saling memahami, hal tersebut tidak pernah menjadi masalah di dalam rumahtangga. Bahkan sebaliknya menumbuhkan rasa kasih dan sayang antara satu sama lain karena masing-masing dapat menerimanya dan mengorbankan kepentingan.

Hingga tiba pada satu hari datangnya ketentuan Allah yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Hari itu merupakan hari kerja. Agenda saya di kantor amat sibuk, bertemu dengan beberapa orang pelanggan dan menyelesaikan beberapa tugas yang perlu disiapkan pada hari tu juga. Pukul lima petang saya bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Lelah dan letih tidak dapat digambarkan. Sampai di rumah, saya lihat suami telah pulang lebih dahulu. Dia telah membersihkan dirinya dan sedang menemani anak-anak, bermain-main dan bergurau senda. Dia kelihatan sungguh gembira pada pada petang itu. Saya begitu terhibur melihat mereka, karena suasana seperti itu jarang terjadi pada hari kerja. Maklumlah masing-masing lelah.

Suami sadar bahwa saya amat lelah pada hari itu. Oleh itu dia meminta agar saya tidak memasak, sebaliknya mengajak kami makan di sebuah restoran makanan laut di pinggir pelabuhan. Dengan senang saya dan anak-anak menyetujuinya. Kami pulang ke rumah agak lewat, kira-kira jam 11 malam. Kami berbincang-bincang sepanjang waktu ketika makan, bergurau-senda dan saling menggoda. Seperti tiada hari lagi untuk esok. Selain anak-anak, suami sayalah orang yang kelihatan paling gembira dan paling banyak berbicara pada malam itu.

Hampir jam 12 malam barulah masing-masing merebahkan badan di tempat tidur. Anak-anak yang kekenyangan segera mengantuk dan lelap. Saya pun hendak melelapkan mata, tetapi belaian lembut suami mengingatkan saya agar tidak tidur lagi. Saya coba menguatkan diri melayaninya, tetapi diri saya hanya separuh saja terjaga, separuh lagi tidur. Akhirnya saya berkata kepadanya sebaik dan selembut mungkin, “Abang, Zee terlalu lelah,” lalu saya menciumnya dan memberi salam sebagai ucapan terakhir sebelum tidur. Sebaliknya suami saya terus merangkul tubuh saya. Dia berbisik kepada saya bahwa itu adalah permintaan terakhirnya. Namun kata-katanya itu tidak meresap ke dalam hati saya karena saya telah berada di alam mimpi. Suami saya perlahan-lahan melepaskan rangkulannya.

Keesokan harinya di kantor, perasaan saya agak tidak menentu. Seperti ada masalah yang tidak selesai. Saya menelepon suami, tetapi tidak dijawab. Sampai saya dapat panggilan telepon yang tidak disangka sama sekali - panggilan dari pihak polisi yang menyatakan suami saya mengalami kecelakaan dan saya diminta segera ke rumah sakit. Saya bergegas ke rumah sakit, tetapi segala-galanya sudah terlambat. Allah lebih menyayangi suami saya dan saya tidak sempat bertemu dengannya.

Meskipun saya ridha dengan kepergian suami, tetapi perasaan bersalah tidak dapat dikikis dari hati saya karena tidak melayaninya pada malam terakhir kehidupannya di dunia ini. Hakikatnya itulah pahala terakhir untuk saya sebagai seorang isteri. Dan yang lebih saya takuti sekiranya dia tidak ridha terhadap saya pada malam itu, maka saya tidak berpeluang lagi untuk meminta maaf padanya. Sabda Rasulullah s.a.w, “Demi Allah yang jiwaku ditanganNya, tiada seorang suami yang mengajak isterinya tidur bersama di tempat tidur, tiba-tiba di tolak oleh isterinya, maka malaikat yang di langit akan murka kepada isterinya itu, hingga dimaafkan oleh suaminya.” Hingga kini, setiap kali saya teringat padanya, airmata saya akan mengalir ke pipi. Saya bermunajat dan memohon keampunan pada Allah. Hanya satu cara saya pikirkan untuk menebus kesalahan itu, yaitu dengan mendidik anak-anak agar menjadi mukmin sejati. Agar pahala amalan mereka akan mengalir kepada ayah mereka. Hanya itulah pengabdian yang dapat saya berikan sebagai isterinya. Itulah harapan saya … semoga Allah perkenankannya. “

(Sebuah Kisah nyata dialami oleh seorang isteri, Faizz di Malaysia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar