Rabu, 19 Mei 2010

Dahsyatnya CINTA

Ceritanya, Ustadz Abdul Kadir Baraja ingin bertemu denganku (ting..ting...orang penting ini, agenda2 nggak penting ditunda dulu). Kali pertama sebelumnya, beliau datang untuk mengatrakan seseorang untuk konsultasi. Yang ini, apa lagi ya? Begini lanjutannya...


Abdul Kadir Baraja told :
Ustadzah sekali-kali harus ikut saya ke Malang (lha ayuk..itu kota kelahiran saya), di sebuah desa terpencil, di daerah Tumpang ada sebuah tempat yang perlu kita kunjungi (ahh, makin penasaran, masak aku nggak tahu tempat unik di malang...lha iyalah, udah 10 tahun nggak di sana tiap hr)

Di sana, ada seorang ustad, mantan dosen Akuntansi Unmer, bersama istrinya merawat orang-orang gila. Mereka sudah melakukan itu selama 10 tahun (nah..pas..aku nggak tahu, pas ada, pas aku keluar dari Malang). Mereka merawat orang-orang gila ini nggak pake' obat penenang SAMA SEKALI, cuma pake' QUR'AN dan HADITS. Dan alumninya tempat ini-orang-orang gila yang akhirnya sembuh dan bisa kembali ke masyarakat- jumlahnya sudah ratusan. Kamu tahu apa KENDARAAN orang ini, cuma satu : CINTA..iya...CINTA. Dia merawat orang-orang gila itu dengan penuh cinta, ada yang merusak dimaafkan, nggak ada keerasan, ada yang badannya kumal, nggak ngerti mandi, ya dimandikan sama ustadz ini, ada yang buang hajat dimana-mana ya dia bersihkan, subhanallah..sampe yang nggak ngerti cebok, dia cebokin...dia rawat orang-orang gila itu seperti anaknya, yg kadang-kadang oleh keluarga mereka sendiri sudah tidak dipedulikan, malah lebih senang kalo mati. Tapi sama ustadz ini dirawat betul, diajari menata dirinya sendiri, tiap hari dibacakan Qur'an dan Hadits.Saya melihat sendiri, gimana anehnya orang gila ini. Ada yang ketawa sendiri, ada yang pandangan kosong, ada yang banyak omong, ada yang suka ngamuk2. Dan ustadz ini kok begitu sabar, telaten mendidik mereka satu per satu.

Kata ustadz ini : mereka bukan orang GILA, tapi mereka adalah orang yang sedang kena COBAAN. Orang GILA itu adalah orang WARAS yang berbuat MAKSIAT..baru itu bener2 gila...

Ustadzah harus renungkan ini. Ini adalah sumbangan besar untuk disiplin ilmu Anda. bahwa yang namanya terapi itu sebetulnya nggak perlu pake' obat-obatan , tapi bisa cukup dengan QUR'AN dan HADITS yang disampaikan dengan CINTA. Ini benar-benar tentang Dahsyatnya CINTA. Ustadz ini betul-betul bisa menunjukkan CINTA kepada sesama, pengabdian yang begitu dalam. Bagaimana tidak? karirnya sebagai dosen, dia tinggalkan untuk merawat orang-orang ini, dia hidup sederhana, dan tetap bisa menghidupi istri dan satu anaknya yang masih kecil, padahal umurnya masih muda..belum 40 tahun, tapi kebijaksanaan hidupnya luar biasa...


Dalam diskusi 3 orang, antara saya, Ustad Abdul Kadir Baraja dan Ustad Nur Hidayat, betul2 membuat kami merasa "tersungkur", mengingat kebesan jiwa, keluasan hati, kekuatan sabar, dan iman ustadz di daerah Tumpang, Malang itu. Yang dengan kesediaannya, mencari, menerima, menampung, dan merawat orang-orang gila...


Ustad Nur : Jika orang gila yang sudah tidak dipedulikan oleh keluarganya, bisa berubah menjadi baik. Maka anak-anak didik kita di Al Hikmah ini bisa juga berubah bukan? Jika anak-anaknya belum berubah, mungkin saja gurunya kurang CINTA pada anak-anaknya


Ustad Kadir : Jadi seorang ibu yang menyerahkan anaknya pada pengasuh, baby sitter semacam itu, berarti ibu ini kurang CINTA pada anak-anaknya. Mereka lebih pentingkan pekerjaan mereka.


Cerita tentang ustadz yang merawat orang gila ini, semoga menjadi sebuah motivasi bagi kita, bahwa di luar sana ada orang-orang yang penuh cinta, sabar, dan iman berjuang demi sebagian orang dalam masyarakat. Semoga mengetuk hati kita untuk lebih peduli dengan sesama. Jika Ustad Nur berharap guru-guru bisa lebih CINTA pada anak didiknya, agar pendidikan itu bisa MENGUBAH...Saya juga ingin mengajak para orangtua untuk menCINTAi anak-anak mereka dengan tulus, dengan memberikan komitemn, perhatian, dan doa tulus untuk anak-anak mereka, jangan sampai menyerahkan semua proses pendidikan pada sekolah. Sekolah butuh orangtua. Jika Ustad Kadir mengira ibu-ibu yang tidak mengasuh anaknya itu kurang CINTA...Wahai para ibu, mari kita perkuat cinta pada anak-anak kita, dengan cara kita...dengan segala keterbatasan kita Untuk semuanya saja, mari kita bertindak dengan CINTA, mari bekerja dengan CINTA, mari kita beribadah dengan CINTA

Jumat, 07 Mei 2010

Ibu, Pendidik Manusia yang Pertama-tama

Beberapa hari terakhir, saya sedang mempelajari tulisan ibu Anni Iwasaki. Siapa dia? yang jelas saya juga baru tahu namanya lewat Facebook. Waktu lihat profilnya sekilas, menarik, add aja ahhh. Ternyata, setelah saya tanya Mbah Google, lewat tulisan-tulisannya ibu Anni ada sebuah DAKWAH mulia, bagi kita para wanita khususnya, untuk kembali pada peran hakiki wanita menjadi ibu. Bukan sekedar ibu yang bisa hamil dan melahirkan, tetapi ibu yang PROFESIONAL, mendidik dan membesarkan anak-anaknya dengan sepenuh hati. Simaklah tulisan ibu Anni dan ibu Ani, hehe....jadi agak panjang, mudah-mudahan betah membaca...


WANITA JEPANG TETAP KONSISTEN MENJADI IBU, PENDIDIK MANUSIA YANG PERTAMA-TAMA. Oleh: Anni Iwasaki (ditulis 17 April 2004)


"Okikunatara okasan ni naritai"- kalau besar ingin menjadi ibu- jawaban anak-anak Jepang seperti itu, rasanya tidak dimiliki oleh anak-anak perempuan di Indonesia. Apabila datang pertanyaan, "Kalau sudah besar nanti ingin menjadi apa?"


(anak perempuan di Indonesia sudah mulai dibiasakan berbeda, aku dulu aja diajari, kalo mau besar besok jadi apa : jadi doktel...haiya...lingkungan Indonesia telah melupakan peran wanita yang hakiki. Sampai teringat padaku, ketika OSPEK KAMPUS, salah seorang teman satu kelompok : Devi Karulina, menjawab dengan tegas, cita-citamu apa? JADI IBU RUMAH TANGGA. Dan kakak-kakak senior langsung tertawa terbahak-bahak, sambil cari cara untuk "nggarap" anak lugu satu ini. Kalian tahu, Mbak Devi betul-betul jadi perempuan yang pertama menjadi ibu di angkatan kami, sebelum dia lulus kuliah, dan insya Allah ibu yang baik)


Coba kita simak isi surat Kartini “Kami di sini meminta, ya memohonkan, meminta dengan sangatnya supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini, melainkan karena kami, oleh sebab sangat yakin akan besar pengaruh yang mungkin datang dari kaum perempuan-hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan oleh Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu-pendidik manusia yang pertama-tama.(4 Oktober 1902 Kepada Tn Anton dan Nyonya. Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane. PN Balai Pustaka 1985)


(Tulisan Kartini ini pastinya menohon para perempuan pecinta karir..Kartini yang kita agungkan, ingat jasany dalam perjuangan perempuan, sudah mengajarkan kita untuk : MENJADI IBU sebagai peran utama wanita. Aku ingat, barusan ada anggota legislatif yang memilih bercerai, karena suami tak ijinkan dia bekerja jadi wakil rakya. Kok ya mbelani karir, padahal sudah punya anak tuh...aku juga punya klien yg begitu sulitnya cari jadwal untuk membahas perkembangan anaknya, karena begitu sibuk di kantor, dengan enaknya berkata : saya 'kan nggak bisa ninggalin kantor seenaknya-tapi apa ibu bisa meninggalkan anak ibu seenaknya, kataku dalam hati. Aku juga ingat beberapa hari yang lalu mewawancari seorang pencari kerja. Dalam rangka menelusuri pengelolaan emosi & interaksi sosial aku tanya : Maaf mbak, dengan usia 37 tahun ini, mengapa mbak memutuskan untuk belum menikah? tahu apa jawabnya : dari dulu saya berpikir bahwa saya bisa hidup tanpa laki-laki (pasangan red.), saya bisa mencukupi kebutuhan hidup saya tanpa harus memiliki suami, bahkan saya bisa mencapai karir yang lebih dari laki-laki. Aku cuma bisa tarik nafas panjangggggg, mendengar jawabannya. Inilah sebuah potret realitas di masyarakat, yg mungkin bukan milik wanita bujangan, tapi bisa juga bercokol di kepala para istri yang punya suami, para ibu yang punya anak)


Rilis Kementerian Kesehatan-Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang tanggal 17 Maret 04 lalu mengungkap 61% ibu muda Jepang keluar dari pekerjaannya menjelang kelahiran anak pertamanya untuk membesarkan buah hatinya. Kebebasan memilih bagi wanita Jepang adalah, profesionalisme. Peran ganda sebagai ibu, terutama ibu anak balita sekaligus wanita pekerja. Dianggap sebagai chuto hanpa-peran tanggung, tidak populer di Jepang. Bagi wanita pekerja Jepang-wanita tidak menikah/menikah tdk melahirkan anak -, bisa mencapai jabatan yang setinggi-tingginya apabila dia sanggup dan mampu. Astronout wanita Asia pertama, adalah wanita Jepang, Dr. Chiaki Mukai. Menlu sekaligus Deputi Perdana Menteri dari negara super economic power, adalah seorang wanita, Yoriko Kawaguchi. Bagi wanita Jepang yang memilih melahirkan anak. Secara ilmiah maupun dalam tradisi Jepang, mitsu no tamashi -masa-masa emas meletakkan pendidikan dasar sejak janin berada dalam kandungan hingga dalam usia tiga tahun pertama anak adalah masa perkembangan pesat otak seorang anak-. Adalah penyebab utama para ibu muda Jepang berpendidikan meninggalkan lapangan kerja melaksanakan ikuji-meletakkan dasar pendidikan karakter&berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya.


(Makanya Jepang jadi negara maju. Anak-anaknya berkarakter!ternyata bukan soal makanan mereka saja, seperti berita bahwa orang Jepang menkonsumni protein lebih banyak daripada ras lain. Nutrition is very important, but without stimulation nothing. Nutrisi boleh oke, tapi jika tidak ada stimulasi pendidikan yang tepat, akan percuma....aku sedang melihat sekelilingku...yah...para wanita bekerja yang akhirnya memiliki anak, telah menyerahkan pendidikan anak mereka kepada pembantu, kepada baby sitter, kepada tempat bernama Tempat Penitiapan Anak, kepada ibunya, atau kepada ibu mertuanya. Jadi inget tulisan kemarin, bukankah surga ada di bawah tapak kaki ibu, bukan dibawah kaki nenek, bukan di bawah kaki mertua, bukan di bawah kaki pembantu. Maka aku berikan applaussss panjang untuk sahabat-sahabatku yang memutuskan menjadi ibu di rumah, mengurus anak-nak mereka. berbahahagialah suami mereka, anak-anak mereka dididik oleh ibu profesional. Sungguh saya tidak sedang menohok atau ingin menusuk teman-teman saya yang memutuskan menjadi ibu dengan tetap sambil bekerja, karena saya memahami pula latar belakang dan alasan masing-masing, dan saya paham betul bagaimana keputusan tetap bekerja itu diambil dengan perasaan penuh gejolak, kesedihan, dan juga pengorbanan. Kalian tentu tetap ibu-ibu yang istimewa dengan cara kalian. Tapi andaikan perempuan Indonesia bergerak bersama, kembali ke rumah, mendidik anak-anaknya sendiri, SDM Indonesia yang berkarakter tidak akan menjadi impian saja, bukan?)


Alangkah lebih baik jika para caleg wanita terpilih yang masih tebal naluri keibuannya. Segera menengok pendidikan anak sejak dini oleh ibu pendidikan Jepang dari dalam kawasan huni sewa tempat tinggal mereka. Tanpa mewujudkan cita-cita Kartini, cita-cita seluruh ibu Indonesia menjadi soko guru pendidikan, berapapun anggaran pendidikan akan dinaikkan oleh pemerintah yang akan datang. Dalam sekejap akan segera diketahui hasilnya, adalah kegagalan dan kegagalan lagi disegala bidang.


(makanya tidak heran, indonesia yang kaya raya ini, masih miskin juga...indonesia yang katanya ramah, tapi orangnya banyak korupsi, indonesia ini...murid-muridnya masih nyontek kalo UNAS, fuihhh sedihnya) (Bagi saya, wanita bekerja yang belum memiliki anak, nasihat ibu Anni Iwasaki terasa begitu dalam. Menjadi sebuah perenungan besar, apakah saya bisa mengikuti jejak para wanita Jepang untuk PROFESIONAL-TOTAL menjadi pendidik pertama dan terutama bagi anak-anak saya sendiri kelak? Dan sungguh Islam telah mengajarkan itu. “Yang terbaik diantara para perempuan adalah yang mengasihi, mengasuh anak, supportif dan patuh, dan yang terburuk diantara perempuan adalah yang suka mengenakan perhiasan dan egois, dan masuk surganya tidak lebih mungkin dari seekor gagak putih”. (HR. Bukhari dan Muslim) Allah Ya Robbi, bimbinglah hamba-Mu ini. Amin.

Kenapa Surga Tidak Berada di Pangkuan Ibu?

Surga ada di telapak kaki ibu
Apa artinya?
Mengapa bukan di telapak tangan ibu?
Mengapa bukan di pangkuan ibu?
Di telapak kaki ibu ada surga
Sebagai ibu, mungkin kita merasa
Betapa menjadi penentu jalan ke surga
Karena itu bisa menuntut hak
Bisa menuntut jasa
Sebagai ibu, mungkin kita berkata
Surga ada di telapak kaki ibu anakkku,
Kau tak boleh kasar pada ibu Kau harus hormat pada ibu
Surga hanya untuk anak yang berbakti pada ibu
Kau harus ikuti kata-kata ibu
Itukah maksud Tuhan
Itukah yang Tuhan mau
Itukah yang diajarkan Nabi
Ibu Jejakmu ada dalam diri anakmu
Ada bekas langkahmu pada anakmu P
erjalanan membesarkan anakmu
Sejak detik pertama kehamilan hingga akil baliq
Tidak terhitung pahala dan dosanya
Itulah yang menentukan anak-anakmu ke surga
*ditulis oleh drg. Wismiarti Tamin, Direktur Sekolah Al Falah Jakarta


Tulisan ini dipresentasikan dalam sebuah rapat yang baru saja aku ikuti, sebuah tulisan yang begitu menggetarkan hati...membuatku berderai air mata mengingat perjalanan panjang ibuku dalam membesarkan aku. Siapa yang mengajari kita untuk terbiasa sholat? Siapa yang mengingatkan kita untuk ngaji? Siapa yang cerewet mengingatkan apa yang BOLEH dan TIDAK BOLEH waktu kecil? Siapa yang memberi tahu itu SALAH dan BENAR? Siapa yang mengajari kita kali pertama? Siapa yang membuat fondasi dirimu ketika kecil? Siapa, kalau bukan IBU?


Ingatlah saat masa kecil, dimana kita selalu merepotkan ibu. Ingatlah masa remaja ketika mbandel, membantah ibu. Ingatlah saat-saat ketika sudah merasa besar dan berani mengambil keputusan-keputusan hidup, yang kadang menentang kehendak ibu...Ingatlah saat-saat ketika kau meninggalkan ibumu di masa tuanya. Maka sudah cukupkan penghormatan kita pada semua jasa ibu itu? Tidak, tidak pernah akan cukup, tidak akan pernah bisa dibayar lunas, bahkan sampai akhir hayat.


Kemudian...jika sekarang sudah menjadi ibu, atau akan menjadi ibu. Siapkah kita untuk menempuh perjalanan panjang, menapaki jejak-jejak langkah untuk diikuti oleh anak-anak kita, membangun fondasi untuk anak-anak kita. Setiap kata yang keluar dari lisan kita, itulah yang akan diikuti anak-anak. Setiap bentuk keputusan kita akan menjadi fondasi anak-anak bersikap. Mari kita melihat..Sudahkah kita menjaga lisan di depan anak-anak? Sudahkah kita memberi sikap teladan untuk anak-anak? I


bu...ketika anakmu bayi, dia belajar membedakan mainan, dia belajar membedakan mana mana kotak, mana lingkaran. Tahukah ibu...logika untuk membedakan benda itu yang akan dia pakai untuk membedakan SALAH dan BENAR ketika besar, membedakan BAIK dan BURUK, membedakan HALAL dan HARAM...Apa yang sudah ibu berikan pada anak-anakmu sejak engkau hamil sampai dia besar sekarang? Ibu...setiap kata, setiap sentuhan, setiap sikap, setiap nasihat...itulah yang akan mengantarkan anakmu ke surga, atau juga ke neraka...

Ternyata, APA YANG TERJADI itu TIDAK PENTING

Sebuah hikmah datangnya bisa kapan saja, dan aku tidak menyangka bahwa aku dipertemukan dengan hikmah di atas ketika aku sedang menaiki sepeda motor, duduk di bagian belakang, bertumpu pada punggung suamiku...pada suatu pagi hari, meninggalkan kantor menuju sebuah tempat di jalan kartini, surabaya...sebuah laboratorium medis.Pada waktu itu berbagai macam hal terbayang, bayangan-bayangan tentang apa yang akan aku lalui...bayangan tentang pekerjaan kantor yang aku tinggalkan, bayangan tentang masalah-masalah klienku, ada yang anaknya autis, ada yang trauma memulai hubungan pasca perceraian, ada yang sedang proses sidang cerai, bayangan tentang kejadian kemarin, berkumpul dengan sahabat-sahabatku, ada yang barusan melahirkan, ada yang sudah 3 tahun menikah belum dikarunia anak, ada yang punya anak habis selesai sakit dari opname, cerita-cerita mereka terngiang di kepalaku...
Kemudian tiba-tiba ada tulisan-tulisan tersaji di depan layar komputer di dalam pikiranku, yah..tentang artikel-artikel internet itu...Pemeriksaan Saluran Telur HSG, dan kemudian terbayang bahwa sebentar lagi, kakiku akan dipenthang, alat vitalku akan dibuka, untuk dimasukkan cairan, kemudian seperti sharing orang-orang yang sudah mengalami, akan datang rasa sakit di perut, mules luar biasa seperti orang haid, tapi mungkin lebih dahsyat...pikiran-pikiran negatif datang, haaaa ntar sakit...ntar hasilnya gimana, dan seterusnya...tapi tiba-tiba ada suara hati yang begitu menenangkan, berkata : tenang saja, semua akan baik-baik saja asal kamu tetap yakin pada Allah, yakin bahwa Allah selalu memberi yang terbaik untuk hamba-Nya, semua akan baik-baik saja asalkan imanmu tetap teguh, asal kamu bersabar, asal kamu tetap bersyukur, tidak berhenti berikhtiar, dan tawakkal pada Allah...
Yah...ketenangan itu tiba-tiba saja hadir, bukankah aku sendiri yang mengambil keputusan untuk ini. Dengan tujuan, aku ingin pastikan kondisi organ reproduksi dalam tubuhku, sebagai bentuk ikhtiar untuk keinginan menjadi seorang ibu, ya...ikhtiar kan. Bahwa nanti akan disertai rasa sakit, itu tidak penting...yang penting adalah bagaimana aku menyikapi rasa sakit itu, apakah aku mengeluh, ataukah aku bisa bersabar, bahkan aku bisa bersyukur bahwa ini suatu pertanda bahwa secara medis aku baik-baik saja. Bahwa nanti hasilnya baik atau tidak baik itu penting, yang penting bagaimana aku menyikapinya. Kalo seandainya hasilnya tidak baik, ya bagaimana aku bisa sabar itu yang penting. kalo seandainya hasilnya baik, ya bagaimana aku bersyukur, itu yang penting.
Terdengung di kepalaku suara suamiku di suatu pagi, “yang penting sekarang kita ikhtiar, mencari jalan yang logika masuk akal, dan tentu saja kita harus lebih menata diri masing-masing, jaga sikap, jaga akhlak, Allah nggak akan memberi jika kita tidak siap, jadi mari kita menyiapkan diri sebisa kita”Dan terbayang pula teman, sahabat yang mungkin mengalami hal yang sama denganku, sedang menantikan menjadi ibu di tahun-tahun pernikahan yang sudah berjalan....
TIDAK PENTING jika ternyata memang ada hambatan tubuh kita untuk hamil, yang kista lah, yang gangguan hormon lah, yang saluran terlurnya tersumbat lah, atau tidak penting juga bahwa ternyata kita baik-baik saja tapi belum juga bisa punya anak. YANG PENTING adalah sikap kita ketika menghadapi itu. Sekali lagi, bersabar dan bersyukurMaka terbayang pula masa-masa kesendirian dulu..ketika satu per satu rekan sejawat menikah, ketika satu per satu sahabat menikah...aku juga pernah mengeluhkan, kok nggak ada tanda-tanda yah aku bakal dapet jodoh...hiks...sampai pada suatu pagi, seorang ustad mengingatkan...urus saja anak-anak kita (murid-murid maksudnya) dengan baik, kita bantu anak-anak jadi anak yang berakhlak, insyaAllah..Allah yang akan mengurus kebutuhan kita...maka yg terjadi, aku nggak mikirin jodoh ato nikah, aku kerja dan kerja, waktu luang aku kursus cari ilmu, dan tiba2 ada orang mengajakku menikah..datang tanpa peringatan.
Jadi, TIDAK PENTING kita belum juga menemukan jodoh, sementara teman-teman kita sudah pada menikah dan punya anak...YANG PENTING adalah bagaimana kita menyikapinya, bagaimana kita tetap yakin Allah akan mempertemukan dengan yang terbaik, yakin bahwa Allah tahu kapn waktu yang terbaik, dan bagimana kita mengisi waktu yang diberi Allah ini selagi kita masih sendiri.
Ahhh terbayang juga seorang ibu yang menangisi anaknya yang nafasnya tersedat-sendat ada di sebuah kamar rumah sakit, dengan seorang suami yang terduduk di pojok ruangan...menyesali yang sudah terjadi...sebenarnya TIDAK PENTING anak kita sakit, atau bahkan jika suatu saat anak kita diambil oleh-NYA seperti bayangan tentang sahabat-sahabatku yang harus dikuret...itu TIDAK PENTING...yang penting sekali lagi adalah bagimana menyikapinya, apa kemudian menyalahkan Allah? Naudzubillah....
Tiba-tiba terbayang juga, anak-anak autis..anak2 hiperaktif, anak2 terlambat bicara yang sehari-hari menjadi pergumulanku...bagaimana ya perasaan orangtua mereka? setiap kali sesi konsultasi atau evaluasi terapi, wajah-wajah orangtua yang penuh harap dan penuh cemas, menanti kata-kata yang akan kusampaikan. sebenarnya kan TIDAK BEGITU PENTING apa yang saya sampaikan, yang penting bagaimana mereka bersikap dengan adanya pernyataan saya. Sedih, menyesal, bolehlah...manusiawi, tapi YANG LEBIH PENTING, adalah menerima dengan ikhlas anak-anak kita dengan segala kelebihan dan keterbatasan mereka, atau dengan segala perbedaan mereka dengan anak-anak pada umumnya. dan YANG PENTING adalah sikap kita untuk terus berikhtiar dalam menyembuhkan, atau setidaknya meringankan dan membantu mereka tetap bertahan hidup di masyarakat dengan segala keterbatasan mereka..
Kemudian terbayang pula kasus perceraian yang sedang kutangani..ada seorang istri yang berkonsultasi tentang suaminya yang pemarah, kasar, dan tidak memperhatikan anak-anak...dalam kasus ini, TIDAK PENTING punya suami yang pemarah, YANG PENTING adalah sikap kita, bagaimana mencari solusi itu, bagaimana kita tetep yakin pada Allah bahwa ini adalah ujian, bukannya malah cari pelampiasan dan mencari pelindung laki-laki lain...Atau cerita seorang suami yang bercerita bahwa istrinya tidak menghargai dia, suka membantah, dan tidak peduli dengan anak-anak. Punya istri seperti itu memang stres, tapi STRES itu TIDAK PENTING, yang penting bagaimana kita menyikapinya.
PILIHAN-PILIHAN SIKAP ketika kita menghadapi sesuatu LEBIH PENTING daripada apa yang sedng terjadi. Karena pilihan sikap itulah yang mencerminkan kualitas diri kita, kualitas akhlak kita, kualitas keimana kita...karena sesuangguhnya APA SAJA YANG TERJADI pada kita itu semua hanya UJIAN untuk menjadi orang yang beriman
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?." Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka," (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur (Q.S. Ali Imran 14-17)

Rabu, 05 Mei 2010

Mengejar Baiti Jannati (3)

Pertama-tama alhamulillah...dengan serangkaian perjuangan (cie....), akhirnya kami bisa menempati rumah baru (cat: rumah second yang kami beli dengan meng-KPR, dengan sedikit polesan, lumayan keliatan baru, hehe...). Betul itu perjuangan, ratusan atau ribuan kilometer jalan kami tempuh untuk mencari rumah tinggal yang cocok, puluhan perumahan & kampung-kampung kami survey, akhirnya memutuskan untuk beli rumah baru, akhirnya dijual lagi meski belum jadi karena tidak sreg (untung ada yang mau beli!), lalu kami menemukan, tepatnya Allah mempertemukan kami dengan rumah, dimana orang yang tinggal disitu betul-betul ingin segera menjualnya...setelah terseok-seok (lebay yang ini..) dalam melakukan renovasi karena terhenti bbrp kali karena KANKER, alias kantong kering..toh selesai juga, meski akhirnya kami perlu mengecat sendiri bagaian-bagian tertentu. Nah yang ini, memori dan insting masa kecilku sedikit berguna, sebab jaman dulu sepulang sekolah sering diajak bapak ke proyek rumah yang dibangun, jadi aku sering liat tukang-tukang bangunan bekerja...
Dan long weekend kemarin jadi waktu yang pas untuk ngurus pindahan. Hari jum'at bersih-bersih, hari sabtu angkut-angkut barang tahap I, hari Ahad angkut-angkut tahap II. Dan tadi malam adalah malam pertama kami menempati rumah itu. Banyak keluarga dari suami ikut mengantar acara pindahan ini, beberapa saudara dari Malang datang juga Bulek-bulek, Sepupu, Adikku, dan Ibu..sayang Bapak nggak bisa...Nah demi menemani anaknya yang menempati rumah barunya, ibuku tiba-tiba memutuskan untuk menginap, tidak ikut pulang ke Malang bersama yang lain...jadilah kami tadi malam bertiga di rumah itu. Dan tentu saja aku memilih menemani ibuku tidur daripada tidur sama suami, hehehe...sebab aku teringat kejadian 6 tahun yang lalu...
6 tahun yang lalu, tanggal 30 Maret sore hari tiba aku dapt telepon : Kris, ibu wis numpak sepur mo nginep dikostmu ya, paling ntar maghrib nyampe...dan betul menjelang adzan maghrib udah dikostku, naik becak dari stasiun kereta api Gubeng. Waktu terima telepon, yang jelas satu pikiranku : rencana buyar...pada malam itu, rencananya ada pergi2, makan2 karena itu hari ultahku. Ibu uda telepon dari hari sebelumnya, tanya mau pulang apa nggak pas ultah, soalnya kalo pulang ibu mau masak2 spesial, dan kubilang nggak bisa pulang banyak kegiatan (padahal aku memang lebih ingin menghabiskan waktu tidak dengan keluarga) huhhhhh....
Akhirnya malam itu, ibu minta diajak ke rumah makan yang enak, trus makan2 deh bertiga sama adekku juga...Aku tanya sama ibu: kenapa sie, jauh2 dari Malang, sendirian (karena Bapak kerja di luar kota), datang kesini? Ibu cuma bilang : yah, ibu pengen ketemu anak aja, kalo kamu nggak bisa pulang, ya ibu aja yang kesini...akhirnya malam hari juga nggak ngobrol banyak2, tidur bareng gtu aja...buat aku biasa kali, tapi buat ibu yang suaaayangggg sama anaknya, spesial kali ya...aku sadar, harusnya waktu ibu nanya, nggak pulang tha? itu artinya ibu ingin aku pulang, dan seharusnya aku pulang!
Yang jelas, aku terharu...aku jadi ingat, sejak usia 18 tahun (10 tahun yang lalu) aku putuskan untuk keluar dari rumah..kuliah di Surabaya, bekerja di Surabaya, dan berumahtangga di Surabaya. Maka sejak usia 18 tahun itu, waktuku untuk 'mengabdi' pada orangtua sangat sedikit, hanya dengan telepon2, dan ketika pulang ke Malang untuk menyenangkan hati mereka...10 tahun terakhir, dimana aku ketika ibuku pulang kerja dan badannya pegal, ketika dulu aku masih pijat2 ibu, dimana ketika ibu sakit flu berhari-hari, dimana aku ketika bbrp hr yg lalu bapakku sakit panas sampe 3 hari lebih, dimana aku ketika ibu terserang sakit kepala vertigo sampe untuk ruku' n sujud peningnya minta ampun...yah, aku sedang sibuk dg kehidupanku sendiri..Maafkan aku, Bu...dan tadi malam ibuku bilang pengen nginap semalem aja...mungkin maksudnya untuk nyenengin anaknya, nemenin anaknya di hari pertama menempati rumah baru...terus kapan aku menyenngkan orangtua?
Bu,... Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah
Seperti udara... kasih yang engkau berikan T
ak mampu ku membalas...ibu...ibu
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....
Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu
(Ibu by Iwan Fals, satu lagu favoritku)
NB : Wahai sobat semua inilah alamat baruku
Perum Taman Suko Asri II Blok O No. 14A RT 33 RW 08,
Desa Suko Kec. Sukodono Sidoarjo