Rabu, 10 Juni 2009

Meluruskan Niat dalam Sertifikasi Guru

“Pokoknya dapat sertifikat!”, teriak sekelompok guru dalam sebuah kegiatan seminar. Kalimat ini terlontar ketika beberapa hari yang lalu, sekolah kami menyelenggarakan Olimpiade Matematika Tingkat SMP se-Jawa Timur yang diikuti oleh lebih dari 700 regu dan kegiatan pendamping berupa seminar bertemakan Strategi Membina Tim Olimpiade yang diikuti lebih dari 300 guru. Fenomena kegiatan seminar-seminar untuk guru yang pesertanya membludak sedang marak sebab mereka mengejar perolehan sertifikat demi persiapan sertifikasi guru.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bertujuan untuk memperbaiki pendidikan nasional, baik secara kualitas maupun kuantitas. Undang-undang ini menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru. Sesuai dengan amanat undang-undang tersebut, Sertifikasi Guru memang harus dilakukan sebagai proses pemberian bukti formal yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Ketika seorang guru sudah mendapat sertifikat pendidik ini maka ada jaminan untuk mendapatkan imbalan yang layak, sehingga pekerjaan guru dapat dianggap sebagai pekerjaan yang profesional, menarik, dan kompetitif.

Sertifikasi Guru adalah sebuah program yang cukup menggemparkan dunia pendidikan. Berbagai kalangan menaruh harapan besar akan adanya perubahan kualitas pendidikan nasional namun tidak sedikit yang merasakan kegelisahan, terutama mengenai teknis pelaksanaan yang memungkinlah celah kecurangan sehingga tidak mewadahi tujuan yang sebenarnya.

Pada kenyataannya, proses sertifikasi guru dipandang berbeda oleh kalangan guru sendiri. Pernyataan yang sering didengungkan dalam obrolan sehari-hari, bahkan juga diskusi, seminar, workshop guru menunjukkan sudut pandang yang terlalu sederhana. Berikut ini gambaran pendapat yang sering beredar : “Dalam sertifikasi, guru-guru diminta mengajukan sebuah portofolio. Kemudian, portofolio yang berisi berbagai macam dokumentasi kerja seorang guru itu akan dinilai oleh Tim Assesor yang ditunjuk, kalau poin yang didapat dalam portofolio tersebut mencapai batas minimal, maka akan dinyatakan lulus dan mendapat sertifikat guru. Jika tidak, kabarnya akan diberikan pelatihan dan boleh mengajukan sertifikasi pada periode berikutnya. Sertifikat guru yang telah dipegang dapat digunakan untuk mendapatkan imbalan kesejahteraan berupa 1 kali gaji. Harapannya dengan dukungan material atau finansial ini, guru-guru dapat bekerja lebih baik”.

Penulis sempat tercenung beberapa saat ketika kali pertama mendengar kalimat semacam itu dalam sebuah seminar guru. Terdapat sebuah keresahan dan kekhawatiran akan timbulnya hal yang tidak tepat dalam perjalanan sertifikasi guru. Penulis memandang ada beberapa hal yang perlu kita renungkan dari gambaran proses sertifikasi tersebut.

Pertama, proses sertifikasi belum menjadi jaminan peningkatan kualitas guru karena pada hakikatnya sertifikasi hanyalah alat untuk memetakan guru. Proses sertifikasi menghasilkan dua kategori yaitu guru yang lulus sertifikasi dan tidak lulus. Guru yang lulus sertifikasi dinilai memiliki kualifikasi sebagai pendidik, layak mendapat sertifikat, dan dianggap bisa menjalankan pekerjaan guru secara profesional. Guru yang tidak lulus dinilai belum memiliki kualifikasi sebagai pendidik, belum bisa mendapatkan sertifikat, dan dianggap belum bisa menjalankan pekerjaannya secara profesional sehingga perlu pembinaan lebih lanjut dalam bentuk pendidikan dan pelatihan. Dengan asumsi bahwa penilaian yang dilakukan para assesor dengan menggunakan metode portofolio adalah sebuah proses yang terpercaya dan akurat maka masih tersisa satu masalah lain. Kegiatan tindak lanjut berupa pendidikan dan pelatihan menjadi peluang untuk membantu peningkatan kualitas kompetensi pendidik, bahkan proses inilah yang perlu dikawal. Maka, apakah desain pendidikan dan pelatihan ini sudah disiapkan dengan baik?

Kedua, metode yang dipilih untuk meningkatkan kualitas guru melalui Sertifikasi Guru adalah memberikan jaminan kesejahteraan berupa imbalan 1 kali gaji. Pilihan ini didasari harapan bahwa dengan dukungan material atau finansial, maka guru-guru dapat bekerja lebih baik dan pekerjaan guru dapat dianggap sebagai pekerjaan yang profesional, menarik, dan kompetitif. Dalam kajian motivasi, cara ini adalah sebuah pilihan untuk meningkatkan motivasi sumber sumber daya manusia dari sisi ekstrinsik. Pemberian reward dari pihak luar diri memang dapat memunculkan motivasi dan menggerakkan seseorang untuk meraihnya, tetapi motivasi ekstrinsik sulit untuk bertahan dalam jangka waktu lama. Adakah jaminan setelah penambahan penghasilan akan serta merta membuat guru merasa puas sehingga lebih fokus dalam meningkatkan kualitas diri?

Berikut ini pertanyaan dan pernyataan menggelitik dari kalangan guru sendiri terkait dengan sertifikasi guru. ”Ayo ikut seminar, nanti dapat sertifikat lho!”, begitulah kira-kira komentar sekelompok guru yang sedang mempersiapkan diri untuk proses sertifikasi. ”Saya mau membuat penelitian, kan poinnya besar dalam penilaian sertifikasi” kata guru lainnya. ”Bolehkah minta surat keterangan untuk kegiatan-kegiatan mendampingi siswa karena itu juga ada poinnya lho” sahut yang lain.

Sejak ada proses sertifikasi guru, kegiatan seminar yang paling membosankan pun diikuti oleh banyak orang jika ada sertifikatnya. Guru-guru berburu sertifkat dengan mengikuti berbagai kegiatan baik yang bernama seminar, pelatihan, workshop, dan lain-lain. Bahkan banyak juga yang rela membayar mahal untuk kegiatan-kegiatan itu. “Saya bayar saja ya, tapi tidak bisa datang, nanti sertifikatnya dikirim saja ke sekolah”. Sikap-sikap ini sangat memalukan nama baik profesi guru karena hanya demi mendapatkan poin yang cukup dalam sertifikasi mereka menempuh cara-cara yang tidak etis. Di sisi lain, betapa banyak energi yang dikeluarkan untuk mengejar persiapan sertifikasi sehingga bisa saja kegiatan utama di sekolah terbengkalai dan kemudian kegiatan mengajar menjadi sebuah proses untuk menggugurkan kewajiban saja tanpa pemaknaan yang berarti.

Ketiga, seperti tampak dari cerita di atas, proses sertifikasi guru yang menggiurkan karena tawaran berupa tambahan 1 kali gaji itu membuat para guru bersemangat beraktivitas namun bisa juga mengurangi keikhlasan dalam bekerja. Sikap seperti inikah yang akan diteladani oleh siswa kita? Bukankah para guru tidak hanya bertugas memberikan pengetahuan kepada siswa tapi juga berkewajiban memberikan penanaman nilai dan pendidikan karakter kepada siswa. Perilaku-perilaku guru yang kurang beretika dalam mengejar sertifikasi bukanlah sebuah contoh yang mendidik bagi anak-anak kita. Maka selanjutnya, fenomena sertifikasi guru hanya akan menambah daftar kesempatan merosotnya kualitas pendidik kita.


Life is always like two sides of coin. Dalam kehidupan ini selalu ada dua sisi antara kebaikan dan kebalikannya. Program peningkatan kualitas pendidikan dengan penetapan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru ternyata juga bisa melahirkan efek samping masalah-masalah yang mungkin menimbulkan kemorosotan kualitas pendidikan kita. Ketika kita memiliki kesadaran akan masalah ini, kita masih bisa melakukan antisipasi. Kita sebagai insan dalam dunia pendidikan memegang amanah untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang akan menjadi pemimpin di masa depan. Marilah kita menata diri, meluruskan niat, dan membangun keikhlasan hati dalam mengikuti sertikasi guru. Semoga segala usaha untuk persiapan sertifikasi guru lebih karena motivasi untuk memberdayakan diri dapat mendatangkan manfaat untuk bangsa ini.


(ditulis sewaktu masih menjadi guru, sekarang aku bukan guru tetapi tetap seorang pendidik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar