Rabu, 10 Juni 2009

Anak Saya Tidak Normal?

"Apakah itu berarti anak saya tidak normal?", begitu kalimat tanya lengkap yang diajukan seorang ibu padaku. Sesaat aku terdiam, seluruh komponen pikiran dan perasaanku bekerja untuk mencari kalimat yang tepat dalam menjelaskan hal ini.
"Ibu, setiap anak, sebagaimana juga semua manusia dilahirkan berbeda, masing-masing punya kelebihan dan kelemahan. Apabila ternyata anak ibu memiliki sesuatu yang berbeda dari anak-anak seusianya, maka apakah kita layak menyebutnya anak tidak normal? Anak adalah ciptaan Allah. Apakah kemudian kita bisa mengatakan juga ciptaan Allah itu tidak normal? Allah menciptakan setiap makhluknya dengan sempurna. Jika kemudian dalam sudut pandang manusia, ada yang kurang, itulah manusia. Memang, dalam kacamata ilmu psikologi, anak ibu memiliki hambatan dalam berperilaku. Mungkin itulah sisi kelemahan dia sebagai manusia. Lalu kelebihannya? Mari kita cari sama-sama, agar dia tetap dapat membantu dia menjadi manusia bermanfaat di kemudian hari" begitulah akhirnya jawaban yang kucoba sampaikan dengan bahasa yang selembut mungkin, sambil terus aku pegang dan elus-elus tangan si ibu.
Aku melihat, sepanjang aku berbicara tadi, sang ibu mendengar penuh seksama, sambil berurai air mata, sekali lagi, air mata tanpa sesenggukan, tanda kesedihan hati yang terdalam.
"Apakah anak saya masih bisa sekolah di sekolah umum?" tanya sang ibu akhirnya

"Bisa ya, bisa tidak" kali ini aku bisa menjawab dengan spontan dan tegas.
"Ada banyak serangkaian pemeriksaan yang perlu kita lakukan. Observasi sesaat yang sudah dilakukan, memang menunjukkan adanya hambatan perilaku. Tetapi untuk memberikan rekomendasi jenis sekolah, saya sarankan pemeriksaan lanjutan. Baik itu secara psikologi dan juga medis" aku menambahkan penjelasan berikutnya.
Akhirnya sang ibu mulai tenang, dan melanjutkan diskusi tentang langkah-langkah selanjutnya.
Inilah sebuah catatan peristiwa dahsyat yang kudapat sepekan lalu. Sebuah peristiwa yang mengajarkan aku banyak hal. Sebagai hamba Allah, aku diingatkan untuk menerima ketetapan Allah, betapa pun itu pahit, dan senantiasa bersabar serta bersyukur, serta meyakini bahwa Allah memberikan yang terbaik. Sebagai konselor, aku belajar untuk semakin berempati, sekaligus tetap profesional dalm menyampaikan rekomendasi. Sebagai seorang istri dan calon ibu (hehe, mudah-mudah Allah memberi kemudahan), aku belajar bahwa memang menjadi orangtua adalah sebuah persoalan yang tidak sederhana, namun di sinilah manusia dididik untuk menjadi arif dan bijaksana. Fuihh, aku tidak akan bisa menuliskan ini jika Allah tidak mempertemukan aku dengan anak-anak dengan berbagai macam kasus yang aku tangani. Ya Allah, jagalah diriku untuk melakukan yang terbaik...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar