Jumat, 07 Mei 2010

Ibu, Pendidik Manusia yang Pertama-tama

Beberapa hari terakhir, saya sedang mempelajari tulisan ibu Anni Iwasaki. Siapa dia? yang jelas saya juga baru tahu namanya lewat Facebook. Waktu lihat profilnya sekilas, menarik, add aja ahhh. Ternyata, setelah saya tanya Mbah Google, lewat tulisan-tulisannya ibu Anni ada sebuah DAKWAH mulia, bagi kita para wanita khususnya, untuk kembali pada peran hakiki wanita menjadi ibu. Bukan sekedar ibu yang bisa hamil dan melahirkan, tetapi ibu yang PROFESIONAL, mendidik dan membesarkan anak-anaknya dengan sepenuh hati. Simaklah tulisan ibu Anni dan ibu Ani, hehe....jadi agak panjang, mudah-mudahan betah membaca...


WANITA JEPANG TETAP KONSISTEN MENJADI IBU, PENDIDIK MANUSIA YANG PERTAMA-TAMA. Oleh: Anni Iwasaki (ditulis 17 April 2004)


"Okikunatara okasan ni naritai"- kalau besar ingin menjadi ibu- jawaban anak-anak Jepang seperti itu, rasanya tidak dimiliki oleh anak-anak perempuan di Indonesia. Apabila datang pertanyaan, "Kalau sudah besar nanti ingin menjadi apa?"


(anak perempuan di Indonesia sudah mulai dibiasakan berbeda, aku dulu aja diajari, kalo mau besar besok jadi apa : jadi doktel...haiya...lingkungan Indonesia telah melupakan peran wanita yang hakiki. Sampai teringat padaku, ketika OSPEK KAMPUS, salah seorang teman satu kelompok : Devi Karulina, menjawab dengan tegas, cita-citamu apa? JADI IBU RUMAH TANGGA. Dan kakak-kakak senior langsung tertawa terbahak-bahak, sambil cari cara untuk "nggarap" anak lugu satu ini. Kalian tahu, Mbak Devi betul-betul jadi perempuan yang pertama menjadi ibu di angkatan kami, sebelum dia lulus kuliah, dan insya Allah ibu yang baik)


Coba kita simak isi surat Kartini “Kami di sini meminta, ya memohonkan, meminta dengan sangatnya supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini, melainkan karena kami, oleh sebab sangat yakin akan besar pengaruh yang mungkin datang dari kaum perempuan-hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan oleh Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu-pendidik manusia yang pertama-tama.(4 Oktober 1902 Kepada Tn Anton dan Nyonya. Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane. PN Balai Pustaka 1985)


(Tulisan Kartini ini pastinya menohon para perempuan pecinta karir..Kartini yang kita agungkan, ingat jasany dalam perjuangan perempuan, sudah mengajarkan kita untuk : MENJADI IBU sebagai peran utama wanita. Aku ingat, barusan ada anggota legislatif yang memilih bercerai, karena suami tak ijinkan dia bekerja jadi wakil rakya. Kok ya mbelani karir, padahal sudah punya anak tuh...aku juga punya klien yg begitu sulitnya cari jadwal untuk membahas perkembangan anaknya, karena begitu sibuk di kantor, dengan enaknya berkata : saya 'kan nggak bisa ninggalin kantor seenaknya-tapi apa ibu bisa meninggalkan anak ibu seenaknya, kataku dalam hati. Aku juga ingat beberapa hari yang lalu mewawancari seorang pencari kerja. Dalam rangka menelusuri pengelolaan emosi & interaksi sosial aku tanya : Maaf mbak, dengan usia 37 tahun ini, mengapa mbak memutuskan untuk belum menikah? tahu apa jawabnya : dari dulu saya berpikir bahwa saya bisa hidup tanpa laki-laki (pasangan red.), saya bisa mencukupi kebutuhan hidup saya tanpa harus memiliki suami, bahkan saya bisa mencapai karir yang lebih dari laki-laki. Aku cuma bisa tarik nafas panjangggggg, mendengar jawabannya. Inilah sebuah potret realitas di masyarakat, yg mungkin bukan milik wanita bujangan, tapi bisa juga bercokol di kepala para istri yang punya suami, para ibu yang punya anak)


Rilis Kementerian Kesehatan-Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang tanggal 17 Maret 04 lalu mengungkap 61% ibu muda Jepang keluar dari pekerjaannya menjelang kelahiran anak pertamanya untuk membesarkan buah hatinya. Kebebasan memilih bagi wanita Jepang adalah, profesionalisme. Peran ganda sebagai ibu, terutama ibu anak balita sekaligus wanita pekerja. Dianggap sebagai chuto hanpa-peran tanggung, tidak populer di Jepang. Bagi wanita pekerja Jepang-wanita tidak menikah/menikah tdk melahirkan anak -, bisa mencapai jabatan yang setinggi-tingginya apabila dia sanggup dan mampu. Astronout wanita Asia pertama, adalah wanita Jepang, Dr. Chiaki Mukai. Menlu sekaligus Deputi Perdana Menteri dari negara super economic power, adalah seorang wanita, Yoriko Kawaguchi. Bagi wanita Jepang yang memilih melahirkan anak. Secara ilmiah maupun dalam tradisi Jepang, mitsu no tamashi -masa-masa emas meletakkan pendidikan dasar sejak janin berada dalam kandungan hingga dalam usia tiga tahun pertama anak adalah masa perkembangan pesat otak seorang anak-. Adalah penyebab utama para ibu muda Jepang berpendidikan meninggalkan lapangan kerja melaksanakan ikuji-meletakkan dasar pendidikan karakter&berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya.


(Makanya Jepang jadi negara maju. Anak-anaknya berkarakter!ternyata bukan soal makanan mereka saja, seperti berita bahwa orang Jepang menkonsumni protein lebih banyak daripada ras lain. Nutrition is very important, but without stimulation nothing. Nutrisi boleh oke, tapi jika tidak ada stimulasi pendidikan yang tepat, akan percuma....aku sedang melihat sekelilingku...yah...para wanita bekerja yang akhirnya memiliki anak, telah menyerahkan pendidikan anak mereka kepada pembantu, kepada baby sitter, kepada tempat bernama Tempat Penitiapan Anak, kepada ibunya, atau kepada ibu mertuanya. Jadi inget tulisan kemarin, bukankah surga ada di bawah tapak kaki ibu, bukan dibawah kaki nenek, bukan di bawah kaki mertua, bukan di bawah kaki pembantu. Maka aku berikan applaussss panjang untuk sahabat-sahabatku yang memutuskan menjadi ibu di rumah, mengurus anak-nak mereka. berbahahagialah suami mereka, anak-anak mereka dididik oleh ibu profesional. Sungguh saya tidak sedang menohok atau ingin menusuk teman-teman saya yang memutuskan menjadi ibu dengan tetap sambil bekerja, karena saya memahami pula latar belakang dan alasan masing-masing, dan saya paham betul bagaimana keputusan tetap bekerja itu diambil dengan perasaan penuh gejolak, kesedihan, dan juga pengorbanan. Kalian tentu tetap ibu-ibu yang istimewa dengan cara kalian. Tapi andaikan perempuan Indonesia bergerak bersama, kembali ke rumah, mendidik anak-anaknya sendiri, SDM Indonesia yang berkarakter tidak akan menjadi impian saja, bukan?)


Alangkah lebih baik jika para caleg wanita terpilih yang masih tebal naluri keibuannya. Segera menengok pendidikan anak sejak dini oleh ibu pendidikan Jepang dari dalam kawasan huni sewa tempat tinggal mereka. Tanpa mewujudkan cita-cita Kartini, cita-cita seluruh ibu Indonesia menjadi soko guru pendidikan, berapapun anggaran pendidikan akan dinaikkan oleh pemerintah yang akan datang. Dalam sekejap akan segera diketahui hasilnya, adalah kegagalan dan kegagalan lagi disegala bidang.


(makanya tidak heran, indonesia yang kaya raya ini, masih miskin juga...indonesia yang katanya ramah, tapi orangnya banyak korupsi, indonesia ini...murid-muridnya masih nyontek kalo UNAS, fuihhh sedihnya) (Bagi saya, wanita bekerja yang belum memiliki anak, nasihat ibu Anni Iwasaki terasa begitu dalam. Menjadi sebuah perenungan besar, apakah saya bisa mengikuti jejak para wanita Jepang untuk PROFESIONAL-TOTAL menjadi pendidik pertama dan terutama bagi anak-anak saya sendiri kelak? Dan sungguh Islam telah mengajarkan itu. “Yang terbaik diantara para perempuan adalah yang mengasihi, mengasuh anak, supportif dan patuh, dan yang terburuk diantara perempuan adalah yang suka mengenakan perhiasan dan egois, dan masuk surganya tidak lebih mungkin dari seekor gagak putih”. (HR. Bukhari dan Muslim) Allah Ya Robbi, bimbinglah hamba-Mu ini. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar