Senin, 26 Oktober 2009

Menata Ulang Niat Bekerja

Pada hari Senin ini, dimana orang-orang biasa mulai bekerja setelah jeda libur 1 atau 2 hari, aku ingin berbagi tentang sebuah tuntunan. Aku baca dari buku "The Ultimate Psychology. Psikologi Sempurna Ala Nabi Saw" buah karya Muhammad Ustman Najati.
Suatu hari, Rasulullah dusuk bersama para saharabatnya. Lantas mereka melihat ada seorang pemuda yang sangat kuat pergi dari rumahnya pagi-pagi sekali untuk bekerja. Maka orang-orang berkata, Celakalah pemuda ini. Andai saja masa muda dan kekuatannya dipergunakan di jalan Allah". Maka Rasulullah bersabda, "Jika ia keluar untuk anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja bagi kedua orangtuanya yang telah lanjut usia, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk dirinya agar tidak meminta-minta, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk keluarganya, maka ia berada di jalan Allah. Namun jika ia bekerja untuk membanggakan diri dan untuk tujuan menimbun harta, maka ia berada di jalan Thagut. HR Ath-Thabrani, kualitas sanadnya dhaif.

Meskipun ini adalah hadits kualitas lemah, para ulama bersepakat bahwa hal ini masih bisa diamalkan. Maka hari ini pun aku bertanya lagi pada diriku sendiri : untuk apa aku berangkat pagi-pagi bekerja. Aku masih ingat ketika selesai kuliah, aku bertekad : aku harus bekerja, segera, dengan bekal ijazah S1 ini, sebab aku ingin mandiri secara finansial, setelah menggantungkan 22 tahun hidupku pada orangtua. Niat ini kembali direvisi pasca-pernikahan. Teringat jelas patron dari suami : jangan sekali-kali meniatkan bekerja untuk mencari uang, karena mencari nafkah itu tugas suami. Ketika berkangkat bekerja, berniatlah untuk mengamalkan ilmu agar bermanfaat buat orang banyak, mengembangkan dirimu, menambah ilmu agar barokah. Insya Allah, aku selalu berusaha teguh memegang niat ini. Mudah-mudahan Allah selalu melindungi. Amin.
Nah, waktu aku membaca hadits ini, termenunglah diriku...Pernahkan aku bekerja dengan niat berbangga diri. Ungkapan : aku gitu lho! Astagfirullah...Sebagaimana sifat hati yang mudah terbolak-balik, kusadari ternyata pernah juga aku berbangga diri, dan ini jalan THAGUT! Astagfirullah...Ya Allah bimbinglah hamba-Mu ini di jalan yang lurus.Amin

Senin, 12 Oktober 2009

Hubbul Iman (tertulis setahun yang lalu)

Beberapa hari yang lalu, saya berdiskusi dengan seorang teman sesama ibu rumah tangga. Saya menyatakan bahwa pernikahan itu sungguh adalah sebuah tanda kebesaran ALLAH…begitu banyak kejadian yang merupakan karunia datang setelah kita menikah…Ketika dahulu masih sendiri, mungkin ada teman-teman dekat dan keluarga yang begitu memperhatikan kita, tetapi pasangan hidup kita adalah seseorang (yang mulanya orang lain) kemudian menjadi begitu perhatian dan mencurahkan segala yang dia miliki untuk kebaikan pasangannya. Tidakkah itu suatu tanda kebesaranNYA?

Betapa indahnya ketika menghayati bahwa dengan menikah itu adalah sebuah kesempatan untuk semakin dekat dengan Sang Pencipta. Betapa tidak? Ketika keindahan, kebahagiaan yang dirasakan maka kepada siapa kita ingat untuk bersyukur? Tentu kepada Allah SWT yang telah menjadi penyebab ini semua mungkin terjadi. Ketika masalah-masalah ringan, masalah-masalah besar mulai datang, maka kepada siapa kita akan mengadu kalau tidak kepada Allah..sebab mengadu pada sesama manusia hanya akan menambah malu dan sekaligus menambah dosa. Oleh sebab itu, ketika waktu bergulir dalam kehidupan pernikahan dengan segala dinamikanya maka tiada lain itulah datangnya kesempatan untuk semakin mendekat pada-NYA…

Maka teringatlah sebuah nasihat dari sahabat lamaku : Wahai para wanita, jika dulu bakti pertamamu pada sesama manusia (setelah ketaatan pada Allah tentunya) adalah kepada kedua orangtuamu, maka sejak engkau menikah, bakti pertamamu adalah kepada suamimu. Dan tahukah enagkau, ketaatan seorang istri pada suaminya adalah salah satu jalan menuju surga Allah…Subhanallah…

Berbakti pada orangtua pastilah dilandasi dengan cinta, begitu pula taat pada suami pastilah dilandasi cinta. Tapi tentunya, cinta kepada orangtua berbeda dengan cinta kepada suami.
Orangtua adalah seseorang yang kita kenal sejak masih kecil, yang sepanjang hidup, kita rasakan jasa-jasanya, segala kebaikannya dalam melimpahkan kasih sayangnya pada kita, yang darahnya mengalir di dalam darah kita. Maka, mencintai dan kemudian berbakti pada orangtua bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan…Seolah-olah sudah menjadi respon alamiah dalam jiwa kita untuk membahagiakan mereka. Sahabatku bilang, dalam kajian Islam ini disebut HUBBUL FITRIYAH, cinta yang berasal dari fitrah manusia.

Suami, pada mulanya adalah orang lain, yang mungkin baru kita kenal menjelang menikah. Dimana sebagian besar gambaran dirinya yang asli baru kita ketahui setelah menikah…Dan bahkan, dengan latar belakang yang berbeda kemudian perbedaan selalu muncul dalam keseharian sehingga yang muncul adalah gesekan-gesekan. Lalu bagaimana caranya melakukan ketaatan pada sosok suami dengan kondisi demikian. Sungguh, hanya bekal iman kepada ALLAH yang akan memudahkan proses itu. Keyakinan bahwa pasangan hidup kita, yang telah mulai dengan sebuah perjanjian akad nikah di depan ALLAH, adalah sosok terbaik yang dipilih oleh ALLAH untuk kita. Keyakinan bahwa dengan berbuat baik terhadap istri adalah amanah dari ALLAH yang harus dipertanggung jawabkan di akhirat. Keyakinan bahwa ketaatan pada suami adalah bentuk ibadah mulia, yang akan mengantar para wanita menuju surga.

Dengan adanya hati yang mudah terbolak-balik dan iman yang biasa naik turun, cinta pada pasangan juga bisa mengalami pasang surut. Jikalau iman kita pada ALLAH sedang baik, insya Allah ketaatan kepada suami akan menjadi sesuatu yang mudah, cinta kepada istri menjadi sesuatu yang indah. Tetapi jikalau iman kita pada ALLAH sedang turun, maka ketaatan itu menjadi sesuatu yang sulit..cinta kepada istri menjadi suatu beban…Sahabatku bilang, cinta pada suami ini disebut HUBBUL IMAN, cinta yang dilandasi dengan iman kepada ALLAH.

Oleh karena itu, setiap kali teringat kita perlu panjatkan doa agar keimanan kita bisa meningkat, tidak sampai turun, agar kita bisa pertahankan cinta kita pada pasangan hidup kita hingga di akhir hayat…seraya terus bersyukur atas segala karunia yang telah diberikan ALLAH, serta bersabar atas setiap masalah yang datang…sebab masalah-masalah itulah yang menguji keimanan kita, sehingga ketika kita bisa melampauinya maka derajat keimananan kita akan meningkat juga…Amin..Allahuma Amin.